Jumat, 04 November 2011

Kesusastraan dan Seni Masyarakat Bugis


Meskipun orang Bugis kaya sastra lisan dan tulisan, namun hal itu sangat jarang diteliti dan jauh kurang dikenal daripada sastra Melayu, Jawa, atau Bali misalnya. Padahal, kesusastraan bugis tidak kalah banyak jenis dan bentuknya, termasuk di dalamnya : salah satu karya epos terpanjang di dunia; kronik; sejarah; ikhtisar; perundang-undangan; alamanak; risalah hal- hal praktis; kumpulan kata-kata mutiara; teks ritual pra-islam; karya-karya islami; dongeng dan cerita; berbagai jenis sajak; kecuali teks drama (teater).
Berbeda dengan kebudayaan Sunda, Jawa, Madura, dan Bali, kebudayaan Bugis tradisional tidak mengenal seni pertunjukan teatrikal, baik yang dilakonkan oleh manusia, maupun dalam bentuk wayang kulit. Seni tari Bugispun tidak berisi cerita (sendratari). Sedangkan, seni musik Bugis berbeda dengan gamelan karena sebagian besar menggunakan alat musik austronesia  murni yang banyak diantaranya berupa alat musik tak bernada sementara pertunjukan seni suara, baik lagu-lagu bernada datar (untuk epos atau pembaca doa), maupun lagu-lagu berirama melodis (untuk menyampaikan cerita atau sajak), adalah salah satu medium utama yang digunakan untuk menyajikan karya sastra (baik sastra lisan, maupun sastra tulis) yang tampaknya tidak memperlihatkan adanya pengaruh India.
Sangat sedikit yang telah menulis tentang seni musik dan tari Sulawesi Selatan sejak karya Pionir Caire Holt (dance Quest) yang sebenarnya dihasilkan dari survei relatif singkat. Meski demikian, penelitian baru-baru ini yang dilakukan etnomusikolog  Prancis, Dana Rappaport, menjanjikan berbagai wawasan baru mengenai hubungan antara musik dan tari Sulawesi Selatan dengan musik dan tari Indonesia Timur, Kalimantan, dan Sumatra.

Musik, Tari, dan Lagu-lagu Ritual
Musik dan bunyi-bunyian tak bernada berperan penting dalam ritus Bugis kuno yang masih terlihat dalam praktik bissu sampai kini. Di bunyikannya juga kancnci (kancing) dan bermacam-macam bunyi-bunyian dari besi atau bambu dalam ritus rakyat merupakan salah satu warisan ritus Bugis kuno yang disederhanakan. Dalam ritus itu mantra tidak diucapkan dengan suara keras dan tidak ada lagu atau tarian ritual yang menyertainya. Sedangkan, yang khas dalam upacara bissu justru digunakan juga ucapan serta nyanyian doa pujian dan syair ritual, serta diadakannya tarian ritual. Adapun teks ritual bissu, sebagian besar diantaranya merupakan lagu-lagu vokal murni sedangkan sabo, suatu mantra yang dilagukan sambil menari dalam suatu lingkaran, hanya diiringi tabuan gendang.
Alat musik utama dalam ritual bissu  adalah gendang (gendrang) berkulit dua yang ditabuh oleh pemainnya dengan kedua tangannya. Gendang itu, tanpa nyanyian, ditabuh oleh pemain gendang bukan bissu, antara lain untuk mengiring tarian ma’giri’ ( tarian “menikam diri sendiri”) yang dilakukan oleh bissu dalam keadaan kesurupan (a’soloreng). Gendang juga ditabuh untuk mengiring mantra yang dinyanyikan dalam upacara “membangunkan” bajak keramat, yang dianggap “sedang tidur” sebelum diturunkan untuk membajak sawah pertama kali dalam upacara ma’palili ;
Bunyi-bunyian tak bernada (paoni-oni) yang digunakan dalam upacara bissu memiliki berbagai macam jenis dan bentuk. Ada yang terbuat dari besi yang saling dibenturkan satu dengan yang lain. Ada pula yang terbuat dari bambu, seperti lea-lea, yang digunakan sepasang untuk memukul sebatang kayu atau sebilah bambu lain secara silih berganti. Di samping itu, digunakan pula gong besar yang dipukul dengan palu khusus, sepasang simbal kuningan yang saling dibenturkan atau digesekkan berbeda dengan bunyi gong yang berdengung.
Di samping pemakaiannya dalam ritual bissu, kumpulan sebagai atau seluruh alat tersebut ditambah serunai (puih-puih) sehingga berbentuk semacam “orkes” yang dinamakan gaukeng atau gau’datu, dapat dimainkan pada kesempatan upacara perkawinan atau upacara pasca kelahiran anak di kalangan bangsawan tinggi.
Suatu bentuk musik perkusi khas dapat ditemukan pada ritual ma’padendang (menumbuk lesung) yang dilakukan pada saat pesta panen atau ketika terjadi gerhana. Instrumen besar yang terbuat dari batang pohon yang dilubangi tersebut digantung beberapa inci diatas lubang di tanah yang berfungsi sebagai ”kotak pemantul suara”. Para muda mudi menggunakan tongkat kayu sebagai pengganti alu bambu yang digunakan menumbuk padi bergantian menumbuk lesung sepanjang siang dan malam mengikuti irama, gadis-gadis menumbuk lubang lesung dengan ketukan teratur, sementara para pemuda menumbuk kedua ujung lesung dengan irama lebih bersinkope. ”alat musik” itu kadang-kadang disertai pula gendang dan gong.       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar