Senin, 24 Oktober 2011

Mengklaim Kebudayaan


Isu mengenai seni dan budaya mungkin memang tidak sedang gencar seperti beberapa saat yang lalu ketika negara tetangga kita, Malaysia, dituding telah mengklaim beberapa wujud kesenian dari Indonesia. Mengapa budaya? Karena budaya merupakan sesuatu yang kita miliki bersama walaupun sering tidak kita sadari namun sebenarnya telah tertanam dalam diri kita. Berbeda dengan pendidikan yang tidak semua penduduk Indonesia dapat kesempatan untuk mengenyam, dan berbeda dengan kecanggihan teknologi yang tidak semua dari kita dapat menikmati.
Seperti yang banyak dari kita telah ketahui, dalam beberapa tahun ini dan puncaknya pada tahun lalu, telah banyak terjadi kasus pengklaiman budaya Negara kita oleh Negara lain terutama oleh Malaysia. Mengapa Malaysia? Karena mereka merupakan tetangga yang sangat dekat dengan kita, bahkan berbatasan wilayah langsung dalam daratan selain itu juga masih serumpun, yaitu rumpun Melayu. Berbeda dengan Singapura yang merupakan pulau tersendiri dan kebanyakan penduduknya merupakan imigran, bukan penduduk asli. Oleh karena itu, Singapura tidak memiliki kebudayaan sendiri karena memiliki banyak etnis. Di Indonesia dan Malaysia sendiri sebenarnya terjadi pencampuran banyak etnis, namun budaya dari masing-masing etnis yang terdapat di kedua Negara dapat beradaptasi dan sedikit demi sedikit menyatu dengan kebudayaan setempat. Di antara kedua negara tersebut, Indonesia lah tempat dimana pencampuran etnis-etnis tersebut dapat berkembang namun kebudayaan lokal tetap terjaga dengan baik.
Sayangnya, hal tersebut kebanyakan terjadi di masa lalu. Pada masa kini dimana komoditas kebudayaan menjadi ujung tombak dalam kegiatan promosi kepariwisataan, Malaysia benar-benar memaksimalkan aset budaya yang mereka miliki. Bagaimanakah keadaan di Indonesia? Sungguh ironis bahwa yang terjadi adalah sebaliknya. Promosi pariwisatanya tidak segencar dan semegah Malaysia. Mungkin kita bingung untuk menampilkan semua budaya yang ada di Indonesia, atau mungkin kita hanya kurang peduli. Karena kelengahan kita, Malaysia pun “mencuri” wujud seni dan budaya yang telah lama berada di masyarakat kita. Reog Ponorogo, motif kain Batik, lagu-lagu, hingga kesenian Tari Pendet yang pada tahun lalu menjadi puncak perseteruan Indonesia dengan Malaysia mengenai pengklaiman kebudayaan.
Hal pertama yang harus kita cermati, apakah benar bahwa Malaysia telah mengklaim kepemilikan wujud sebagian kebudayaan Indonesia? Saya pribadi belum pernah melihat dokumentasi atau kutipan pernyataan dari perwakilan pihak Malaysia mengenai mereka mengakui Tari Pendet sebagai contoh, sebagai kebudayaan milik mereka. Mungkin pernyataan tersebut hanyalah berasal dari oknum yang menginginkan keakraban kedua Negara serumpun terpecah. Saya mengambil kesimpulan tersebut karena kurangnya tanggapan dari Pemerintah mengenai hal kebudayaan tersebut, karena mungkin dahulu telah ada kesepakatan tak tertulis mengenai pembagian wujud budaya. Mungkin juga dapat disebabkan oleh warga Negara Indonesia atau WNI, baik mantan WNI maupun bukan, yang menyebarkan dan mengajarkan budaya Indonesia di Malaysia dengan prinsip seperti penyebaran agama pada jaman dahulu.
Kedua, Indonesia yang dinilai sebagai pemilik sah atas budaya-budaya tersebut, apakah telah dengan benar menjaga kebudayaan yang telah dimiliki? Arus globalisasi yang deras menerjang telah mengakibatkan berkurangnya nilai-nilai budaya di masyarakat, terutama pada kelas menengah keatas, berkurang drastis. Budaya barat yang dinilai lebih modern, dan paradigma masyarakat bahwa hal impor lebih baik daripada hal lokal memudahkan rusaknya nilai yang pernah ada. Sedangkan, orang-orang yang mendalami tari modern, bisa hampir dipastikan merupakan orang yang sangat populer di sekolah. Dalam program latihan seni tari tradisional bukanlah orang Indonesia asli maupun keturunan. Pada program latihan tari tradisional antara lain dari Prancis dan Jepang, ada yang memang berdomisili di Indonesia, ada juga yang merupakan peserta pertukaran pelajar yang diwajibkan mempelajari kesenian Indonesia. Tetapi, mereka tidak menganggap mempelajari seni tradisional ini sebagai beban, mereka justru merasa bangga dan terbantu karena dengan penguasaan tari daerah saja, mereka bisa diundang untuk tampil ke acara kedutaan. Dapat dilihat bahwa sebagai pemilik, kita cenderung pasif dan lengah dalam menjaga hal yang kita miliki namun menggerutu ketika hal tersebut dicuri.
Jadi sebenarnya siapa yang salah? Kebanyakan opini mengatakan bahwa Malaysia lah yang bersalah karena dengan jelas telah mencuri bentuk kebudayaan dari Negara lain dan bukan hanya ide yang dicuri, namun keseluruhan wujudnya dicuri. Namun, kita harus ingat bahwa Indonesia dan Malaysia merupakan kerabat dekat, dahulu amat dekat. Oleh karena itu, bukan sepenuhnya kesalahan Malaysia jika ia menampilkan kesenian tersebut pada kegiatan promosi kepariwisataannya karena mungkin mereka menganggap kesenian tersebut sebagai kesenian Melayu sehingga lingkup penguasaan budayanya luas. Kesalahan mereka adalah bahwa mereka tidak bertanya mengenai status kepemilikan budaya tersebut dan tidak meminta ijin kepada Indonesia, terutama kepada publiknya, untuk mengklaim hal tersebut.
Bagaimanapun juga, hampir tidak ada pandangan atas suatu hal yang hanya memiliki satu opini saja. Opini yang kedua menyatakan bahwa kesalahan Indonesia lah yang kurang peduli atas kebudayaan sendiri sehingga dengan mudah dapat dikuasai dan diakui oleh Negara lain. Secara pribadi, saya cenderung menyetujui pernyataan yang kedua karena dapat diamati bahwa apresiasi warga negara muda terhadap kebudayaan bangsa sangat minim. Bahkan, yang mendukung saya untuk mendalami kesenian tari tradisional merupakan golongan orang tua, yang dulu ketika muda mempelajari hal serupa. Padahal, apresiasi negara asing terhadap kebudayaan Indonesia sangatlah besar, bahkan seorang pemimpin di Afrika berkata setelah menyaksikan penampilan tari perwakilan Indonesia dalam sebuah acara internasional, “Dulu saya menganggap Indonesia merupakan negara yang bereputasi buruk dengan berbagai kekacauannya, namun setelah saya melihat bagaimana budaya Indonesia itu, anggapan saya mengenai Indonesia berubah 180 derajat”, ini merupakan bukti bahwa budaya Indonesia saja dapat mengubah anggapan seorang pemimpin negara asing mengenai Indonesia menjadi lebih baik. Kurangnya apresiasi warga Indonesia terhadap kebudayaan Indonesia mungkin merupakan salah satu faktor yang membuat pelaku seni di Indonesia hijrah ke negara yang mau dan mampu mengapresiasi mereka, salah satunya adalah Malaysia. Sangat disayangkan bahwa sebenarnya banyak mahasiswa telah menyadari kekurangpedulian warga Indonesia terhadap kebudayaan negeri sendiri namun belum dapat berbuat apa-apa, dan kinilah saatnya kita bertindak.
Mahasiswa memiliki tiga peran dan fungsi, yaitu: iron stock, moral force, dan agent of change. Dalam kasus ini, perlu ditekankan peran dan fungsi mahasiswa pada seluruh poin dari peran dan fungsi mahasiswa. Mahasiswa telah banyak mencetuskan dan menerapkan ide-ide yang telah terbukti dapat mengubah bangsa, sangat disayangkan  bahwa banyak mahasiswa yang telah terbuai oleh arus globalisasi dan segala hal yang dibawanya. Oleh karena itu, perlu diingat bahwa mahasiswa sebagai generasi muda intelektual harus dapat menjaga integritas almamater dalam lingkup kecil dan negara dalam lingkup yang lebih luas.
Pada poin mahasiswa sebagai iron stock, sudah jelas bahwa mahasiswa sebagai generasi muda yang memiliki kemampuan lebih secara fisik untuk melakukan suatu tindakan, dan menerapkan ide-ide. Untuk poin mahasiswa sebagai moral force, kita tidak perlu menjadi mahasiswa dahulu untuk mengetahui bahwa mencuri itu dilarang. Namun sebagai mahasiswa, kita dapat lebih tahu secara sistematis terutama dari segi moral bahwa mencuri itu dilarang. Diterapkan secara keras, sebagai mahasiswa kita dilarang melakukan plagiarisme. Dan terakhir, poin mahasiswa sebagai agent of change merupakan tambahan karena dengan kemampuan fisik dan kemampuan berpikir yang dimiliki mahasiswa, seharusnya dapat menciptakan perubahan dan memang terbukti bahwa berulang kali perubahan dimulai oleh mahasiswa.
Solusi yang ada sebenarnya sederhana. Untuk menjawab pertanyaan, “Apakah yang harus saya lakukan untuk menghindari barang milik saya dicuri?” tentu dapat dijawab dengan, “Meningkatkan keamanan dan kewaspadaan”. Jawaban yang singkat dan sederhana, namun memang memberikan solusi dari masalah yang ada hanya saja kurangnya kemauan dan kemampuan yang membatasi diri kita. Mahasiswa seharusnya juga peduli terhadap keadaan budaya negara yang cukup memprihatinkan, bukan hanya memprotes pemerintah ketika harga-harga mulai naik, bukan mengkritisi kebijakan pemerintah, dan bukan hanya mencela negara tetangga yang mencuri nilai budaya. Daripada kita memprotes isu-isu yang ada dimana hanya akan menambah masalah, lebih baik kita bertindak, dalam hal ini kita sebaiknya mendalami kesenian dan budaya daerah yang masih ada. Selain mendalami kesenian yang masih ada, akan lebih baik lagi kita juga waspada akan nilai-nilai dan perwujudan budaya yang hampir punah sehingga bisa kita lestarikan. Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik kita menyalakan lilin sebagai penerang. Mari introspeksi diri kita, sudahkah kita menjadi warga Negara yang baik.
http://kem.ami.or.id/2011/10/mengklaim-kebudayaan/ oleh Fatimah Rahmatya Gita Isjwara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar